MAHAR DAN BAHASA CINTA
DALAM CERPEN EVI IDAWATI [i]
Oleh. Moh. Roqib
Cinta adalah tema yang selalu aktual, sesuai kebutuhan riil manusia, dan menyisakan misteri yang tiada habisnya untuk dibahas. Cinta memiliki sifat universal sekaligus individual dan lokal. Setiap insan pernah merasakannya dengan karakteristik yang berbeda antara satu individu dengan individu lain bak rasa menu makanan yang berbeda antara zona yang satu dengan yang lain. Ekspresi cinta menjadi hal prerogratif setiap orang bagaimana ia menyimpan, menyatakan, dan membingkainya dalam figura kehidupannya masing-masing. Otoritas ini tidak mungkin bisa digugat walaupun dengan mengerahkan ahli demo bayaran pun tidak mungkin bisa. Cinta memiliki logikanya sendiri.
Evi Idawati dalam karyanya, Mahar hendak mengungkap dunia cinta remaja dan cinta dalam keluarga yang memiliki variasi yang beragam yang bisa didukung sekaligus digugat karena daya kontroversi cinta yang diterjunkan oleh “Aku cerita” terkadang membuat orang gemas. Apalah salah cinta jika ia bicara dengan bahasanya sendiri terserah orang mau bilang apa. Memang kualitas cinta terukur oleh rasa yang dapat tumbuh dengan siraman kondisi yang beragam.
Tulisan berikut tetap dalam kerangka di atas untuk memberikan sedikit sentilan Cerpen yang yang sudah dibaca banyak kalangan luas. Cinta memang indah dan tetap harus mesterius untuk menjaga keindahannya. Untuk mengungkap mesteriusnya itu tulisan ini dibuat agar cinta tetap menjadi mesterius atau bahkan lebih mesterius agar cinta semakin terasa nikmat.
Mahar: Sebagai Nilai Spiritual dan atau Kapitalis
Buku Evi berjudul Mahar. Judul ini diambil dari bagian dari salah satu judul cerpen yang ada dalam buku ini. Kata mahar itu sendiri dari sisi fiqh dan sosial dikenal beragam. Dalam fiqh dikenal dalam pernikahan yaitu sesuatu yang dikeluarkan oleh suami untuk calon istri guna memenuhi sebagian syarat sah akad pernikahan. Setelah akad pernikahan dinyatakan sah maka seorang suami memiliki hak atas istrinya berikut kewajibannya. Di antara hak yang sering diperbincangkan adalah hak pemenuhan kebutuhan hubungan seks, karenanya sebagian orang memandang pernikahan sebagai pintu untuk melakukan “monopoli seksual” terhadap istri atau suaminya.
Secara sosiologis mahar mengalami perluasan makna yaitu digunakan untuk menyebut “uang kehormatan” sebagai ganti pemberian barang-barang, mantra, suwu’ atau aji-aji yang memiliki kekuatan (daya linuih) bagi seseorang yang membutuhkan. Uang atau hadiah tersebut diberikan kepada pemberi benda atau azimat (yang biasanya dilakukan oleh orang pintar atau lainnya). Dalam konteks kemoderenan saat ini mahar dalam arti yang kedua ini tetap berlaku khususnya bagi masyarakat yang mempercayainya atau membutuhkannya.
Mahar dalam artian pertama sering dimaknai bersifat sakral dan berdimensi spiritual sebab dengan mahar yang menjadi sebagaian syarat sah aqad nikah tersebut seorang suami boleh melakukan hubungan seks dengan istri bahkan bernilai ibadah. Segala aktifitas baik komunikasi biologis maupun psikis bermakna ibadah karena hal tersebut dianjurkan oleh agama dalam lingkup pernikahan asal dilakukan secara sehat dan halal.
Dalam konteks kedua, mahar bisa dimaknai sebagai kapitalisasi nilai-nilai spiritual atau spritualisasi nilai-nilai kapitalis yang ada dalam masyarakat. Kontrak jual beli yang mestinya lazim dan dalam Islam dibahas dalam fiqh muamalah, disakralkan agar terkesan sebagai bagian dari pengamalan keagamaan jauh dari transaksi ekonomi. Padahal pada kenyataannya pemberian mahar tersebut merupakan transaksi ekonomi yang nyata karena telah disebutkan tarif sebelumnya.
Judul cerpen Evi ini bisa merujuk pada dua arti sekaligus yaitu menggambarkan cerita-cerita romantis dengan dinamika cinta yang sakral atau material, yang religius dan atau tendensius.
Cinta tanpa Syarat
Cerpen-cerpen Evi Idawati memang menarik untuk dibaca, direnungkan, dan diperdebatkan. Enak dibaca, karena ketepatan memilih kata-kata yang mengalir. Walaupun kadang terjadi loncatan cerita tetapi tetap bisa ditarik garis cerita yang runtut. Perlu direnungkan, karena cerpen ini memberikan wacana baru tentang makna cinta yang terkadang dipuja bagaikan dewa dan si pecinta yang mabuk kepayang harus berani memilih dengan resiko yang tidak ringan. Mungkin sudah menjadi logika cinta yang sedemikian kuat menghujam kalbu diri seseorang.
Apakah cinta tidak mungkin dimanaj agar memiliki kesantunan dan harmoni yang tinggi ? sehingga percik-perciknya menambah nilai harmonitas yang diinginkan oleh semua insan ?. Itulah jalan cerita yang dipilih oleh Evi, sah dan tetap enak dibaca. Patut diperdebatkan karena dalam perspektif eksoteris Islam hal tersebut seringkali berbenturan dengan aturan legal-formal hukum. Bagaimana mungkin seorang Istri dengan sadar enggan melayani suami (untuk berhubungan seks) hanya karena ia sedang “gandrung kapirangun” alias tergila-gila dengan Tuhan. Bukankah dengan berhubungan seks yang sah semakin mendekatkan diri dengan tuhan dan tidak mungkin membuat Tuhan “cemburu” apalagi “cemburu buta” kemudian setiap percumbuan suami-istri menjadi penjauh insan dengan Kholiknya.
Dalam perspektif essoteris, percintaan “Aku cerita” dengan Tuhan mengesankan ada sesuatu yang dibuat-buat, tidak alami dan kurang mengesankan prilaku sufi, paling tidak menurut gambaran umum dalam kitab-kitab Islam klasik. Model kesufian yang ditunjukkan oleh penulis adalah model kesufian hati dan nalar tasawwuf amali berbarengan dengan prilaku wajar seorang pelajar atau mahasiswa perkotaan yang terbuka sebagaimana biasa.
Karakter yang Mudah Jatuh Cinta
Bila didiskripsikan karakterisktik “Aku cerita” adalah seorang muslimah yang dilahirkan dalam keluarga muslim-tradisional dari daerah Demak, meskipun dibeberapa cerita ia terlahir dari keluarga abangan yang pergi merantau untuk studi di perguruan Tinggi Yogyakarta. Walaupun kemampuan keilmuan keislamannya pas-pasan ia seorang yang punya ghirah yang tinggi untuk mengaktualisasikan agamanya dalam kehidupan sehari-hari. Sebagai seorang yang berpendidikan tinggi ia memiliki nalar yang tinggi, teguh dalam memegang prinsip hidup yang ia yakini, berani berbeda atau bahkan berlawanan dengan sikap kebanyakan orang, dan dalam pemahaman pemikiran keislamannya lebih skripturalis-literalis, serta -- yang tidak kalah pentingnya adalah -- sebuah sosok yang mudah jatuh cinta baik kepada Allah maupun kepada lelaki. Sebuah sikap yang memang memicu disharmoni dengan lingkungan sosialnya.
Memang cerpen berkepentingan untuk membuat cerita memiliki sisi kontroversi yang menjadi anti klimaks dari sebuah cerita, tetapi pemilihan karakter tokoh seperti di atas bukan tanpa alasan atau sebab. Alasan tertentu menunjukkan ada pesan dari penulis untuk pembaca. Sedangkan sebab tertentu mungkin di antaranya adalah karena penulis kurang memahami dunia tasawuf klasik yang dengan pemahamannya ia memiliki keterbatasan memahami bagaimana rasa cinta seseorang (dalam perspektif sufi) dibangun kemudian diungkapkan dalam ramuan kehidupan nyata. Apapun alasan dan sebab yang melatarbelakangi sebuah karya sastra tetap ia bisa diterima dan sah-sah saja.
Tawaran Poligami demi Cinta
Maya (dalam judul Mahar hlm. 69-77) digambarkan sebagai seorang yang sedang terpana dengan api cinta membara kepada Tuhan, cinta yang tak tertahankan dan harus dilampiaskan dengan sendagurai dan bercengkrama dengan-Nya. Keharusan seperti ini menuntut Maya untuk meluangkan waktu yang cukup banyak untuk-Nya dalam kehidupan sehari-harinya sedang yang lain menjadi berkurang porsi karenanya. Maya melakukan refleksi untuk membuka tabir misteri cintanya dengan Tuhan dengan rasa cintanya pada suami dan anak-anaknya (untuk ketiga anaknya dan kondisi psikologis Baskoro sang suami tidak diceritakan dengan untuh).
Karena pertimbangan cinta pada Tuhan ia merelakan untuk membagi cinta terhadap sang suami (yang amat dicintainya) untuk “dinikmati” bersama dengan Bella temannya. Sebuah tawaran pembagian hak cinta dengan poligami yang sulit diterima oleh kebanyakan perempuan. Secara psikologis membagi cinta seperti ini sulit ditawarkan oleh istri yang memiliki background kehidupan seperti Maya, yang bila boleh dikaitkan dengan sosok “Aku cerita” di atas, sulit rasanya hal itu terjadi.
Ia memiliki kawan bernama Bella yang tidak berjilbab dengan rambut tergerai sebatas pinggang, yang menjadi pilihan orang yang akan diajak “kerjasama” untuk menikmati cinta suami. Bella dengan diskripsi seperti sulit diterima bahwa ia akan menerima sebagai istri kedua apalagi jika secara geografis ia hidup di Jogjakarta atau Jawa tengah (Demak misalnya) dengan tradisi lokal dan pola hidup yang mungkin jauh dari sikap menerima ajaran poligami.
Bella menerima atau tidak, belum diceritakan oleh Evi. Mungkin karena pertimbangan bahwa cerpen yang harus habis terbaca dengan sekali duduk. Tetapi tanpa kelanjutan reaksi Bella bisa menyisakan pesan yang kurang tuntas dan kontroversial bagi pembaca. Atau memang hal itu disengaja oleh penulis agar pembaca membuat fantasi tersendiri dari kondisi psikologis Bella dan kontrak percintaan ini. Cinta bisa berjalan wajar, menentramkan, dan membahagiakan jika ia mampu menerimanya sebagai irama konstruktif cinta yang ada pada dirinya.
Hubungan Seks Suami-Istri: Media Manunggaling Kawulo-Gusti
Dalam dunia tasawwuf , Muhyiddin Ibn ‘Arabi (w. 638 H.) -- seperti dikemukakan oleh Said Aqiel Siradj (1999: 12) dalam Islam Kebangsaan: Fiqh Demokratik Kaum Santri— menyebutkan, bahwa kecintaan laki-laki terhadap perempuan (atau perempuan terhadap laki-laki dalam cerita Evi) merupakan simbul dari kecintaan terhadap Tuhan. Esensi cintanya hanya untuk Tuhan (al-Haqq), yang dalam tajalli-Nya dia eksis. Ibnu Arabi berpendapat bahwa tatkala laki-laki mencintai perempuan dia mencari kesatuan. Kesatuan itu terkonfigurasi dalam bentuk perkawinan (jima’ atau persetubuhan). Dengan persetubuhan terjadi penyatuan rasa antara suami dan istri, sebagaimana wushulnya manusia dengan Tuhan untuk itu setelah bersetubuh diwajibkan mandi (besar, janabah) sebagai sarana mengembalikan kesatuan manusia dengan Tuhan, sebab saat menyatu dengan istri (atau suaminya) manusia telah mengalihkan penyatuan universalnya dengan Tuhan. Bagi Ibnu Arabi tanpa pengalaman persetubuhan mustahil manusia mampu wushul dengan Tuhan. Dengan demikian jenis kelamin lain bagi seseorang merupakan media untuk penyatuan diri kepada Tuhan (wahdatul wujud atau manunggaling kawulo-gusti) karena ia dibutuhkan untuk mengaktualisasikan cintanya dengan Tuhan. Seseorang memang bisa meluapkan cintanya kepada Tuhan tanpa harus merasakan cinta dengan sesama tetapi hal demikian cukup berat apalagi bagi Maya.
Dalam cerita, Maya lebih mengedepankan rasa cintanya kepada Tuhan dengan berusaha melepaskan diri dari hubungan seks suami-istri. Padahal pendapat Ibnu Arabi di atas bagi masyarakat Jawa sudah dipahami dan mentradisi bahwa dalam keyakinan (agamanya) istri diwajibkan untuk “melayani” suami. Jika Maya adalah seorang santri, dalam kitab Uqudul Lujjain yang populer di kalangan Muslim desa, juga telah dijelaskan bahwa betapa mulianya istri yang mampu membuat suami bahagia dan salah satu medianya adalah lewat pelayan seks yang memuaskan. Kenikmatan hubungan seks seperti ini memiliki nilai ritual dan bahkan preambul (forepaly)-nya saja bernilai ibadah dengan pahala besar.
Pemahaman fiqh seperti ini telah tersebar luas di masyarakat. Pertanyaannya apakah penulis hendak menawarkan wacana baru bahwa kecintaan kepada Tuhan melebihi dari kenikmatan seks yang sah padahal seks yang sah dan sehat mampu menghantarkannya untuk menuju Tuhan ?.
Sebuah cerita yang misterius tetapi bisa riil juga. Bagi suami yang memiliki istri seperti Maya alangkah bingungnya ia memahami pola fikir seperti ini atau mungkin sebaliknya alangkah senangnya sang suami karena cintanya terhadap makhluk Tuhan (perempuan) bisa tersalur dengan beberapa fasilitas perempuan-perempuan yang sah dengan poligami dan mendapat restu istri tercinta, padahal restu istri seperti yang dilakukan Maya ini masih langka di dunia ini.
Cinta kepada Tuhan yang demikian ini, bisa memperkering hubungan cinta suami-istri dan menimbulkan masalah baru bagi keluarga. Hal demikian paling tidak disebabkan oleh kurangnya pemahan mayoritas kita tentang dasar filosofi cinta yang sakral dan menjadi hak siapa saja atau apapun juga. Cinta merupakan menifestasi nilai asma’ Tuhan yang mulia dan akan selalu mulia jika tidak dikotori oleh niat-niat dan aktifitas jahat seseorang. Cinta adalah hak prerogratif Allah yang akan dikaruniakan kepada siapa atau apa. Cinta di atas kemampuan manusia (fauqa mustatha’ al-insan). Hanya Allah sajalah yang dapat menghapus rasa cinta atau mengalihkannya pada yang lain. Pemahaman cinta seperti ini kurang dipahami oleh banyak kalangan dan kemungkinan oleh Bella dalam cerita Evi.
Tawaran Cinta Alternatif
Cerpen Evi memang menggelitik orang untuk membaca dan menerawang dalam lamunan cinta membara yang mengalir deras menembus batas dan membuat pembaca penasaran karena daya kontroversinya atau karena cerita ini ini sengaja dipotong agar membuat pembaca penasaran atau meneruskan ceritanya sendiri-sendiri sesuai imajinasinya masing-masing.
Cerpen-cerpen Evi Idawati dalam Mahar paling tidak mampu membuat tawaran baru tentang arus lalu lintas cinta yang secara vertikal yang beragam juga secara horisontal juga memiliki jalur lalu-lintas percintaan juga berbeda-beda. Cinta bercabang adalah realitas kehidupan yang mestinya juga tetap diharapkan membuahkan nilai positif bagi pelaku cinta. Tetapi banyak ditemukan fenomena negatif akibat cinta ini di samping yang positif. Evi menawarkan sebuah kisah cinta yang beragam itu sebagai i’tibar bagi pembaca.
Cinta bukan sekedar formalitas dengan kemasan indah di luarnya tetapi yang terpenting adalah nilai hakekat yang terjaga dalam hati sanubari pemiliknya sehingga tidak memunculkan efek-efek samping yang meresahkan dan menyakitkan. Tetapi bisakah kita memahamkan semua orang agar ia memahami bahasa cinta kita ?. Jika kita sibuk dengan orang lain apakah ia paham terhadap sosok cinta kita atau tidak betapa lama kita harus menerjemahkan dan menyewa “ahli tafsir cinta” untuk menceramahi tentang cinta ke setiap orang yang kita jumpai ?. Untuk apa berfikir panjang tentang itu, toh cinta itu perlu dirasakan dengan bahasanya sendiri, jika kita memiliki niat yang tulus karena-Nya pasti yang lain akan menerimanya. Itulah keadilan cinta yang mungkin sulit dipahami oleh selain pelaku cinta itu sendiri.
Purwokerto, 29 September 2003
[i] Pernah dimuat di Majalah Fadlilah Yogyakarta
Minggu, 09 Maret 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
2 komentar:
Bicara soal rahasia hubungan cinta, saya baru saja menulis sebuah e-book terbaru yang akan merevolusi paradigma tentang dinamika sosial pria-wanita Indonesia dalam dunia romansa dan percintaan, berjudul The Secret Law of Attraction (bukan sampah new age seperti yang beredar selama ini), sekaligus kunci otomatis untuk menarik popularitas dan trafik blog Anda.
Download rahasia besar tersebut dalam e-book yang terdapat di http://www.hitmansystem.com/blog/the-secret-law-of-attraction-113.htm
" Sekali lagi " CINTa M'mang Indah pak .... Tapi tdk S'mua K'indahan M'ngandung ma'na CINTA "
karna Cinta yang S'sUngguh Nya Hanya Milik AlloH SWT.,^_^.,
"Muhrodin.,^_^.,
IAIIG smstr 2 PAI
Thnk's Ya pak .... Foto copy-an Kumpulan PUISI nya di Tunggu OK !!!
Hheheehe.....
Salam Silaturrahim .....
Posting Komentar