MORALITAS PELAJAR KITA
GURU DIGURUI DENGAN KEKURANGANNYA *
Oleh. Muhammad Roqib
Dunia ini memang aneh. Suatu hari pada tahun 1995-an yang lalu ada seorang mahasiswa melakukan kritik pedas terhadap tradisi yang berkembang di pesantren Krapyak Jogjakarta. Mahasiswa tersebut melakukan kritik dengan mendatangi seorang ustadz yang juga telah mengajarnya dan ia ustadz pesantren Krapyak.
Mahasiswa : Mengapa pak pesantren Krapyak memiliki tradisi yang tidak Islami, banyak bid’ah ?
Ustadz : Seperti apa yang anda maksud dengan tidak Islami itu ?
Mahasiswa : Yang tidak islami itu seperti semaan al-Qur’an, Dzibaan, tahlilan, khaul, peringatan maulid dan lain-lain.
Ustadz : Sebentar, setandar islami yang anda maksud itu apa ? kok mengatakan bahwa semaan al-Qur’an sampai pada peringatan maulid itu tidak islami atau bid’ah ?
Mahasiswa : ya standar atau ukurannya islami atau tidak itu apakah pada jaman Nabi ada atau tidak dan di desa saya tidak ada begitu-begitu ?
Ustadz : Apakah anda telah belajar tentang sirah atau sejarah Nabi ?
Mahasiswa :Belum pak, karena saya belajar agama intensif baru beberapa bulan terakhir
Ustadz : Apakah di desa anda ada ulama’nya atau Kyainya yang berpengaruh sehingga anda jadikan sebagai ukuran keislaman sebuah tradisi di suatu desa?
Mahasiswa : Tidak ada pak, mereka masih banyak yang awam.
Ustadz : Mas pesantren Krapyak ini didirikan oleh mbah Kyai Muhammad Munawwir, hafidzul Qur’an, penghafal al-Qur’an dan beliau telah belajar di masjidil Haram lebih dari tiga puluhan tahun. Setelah wafat pesantren ini kemudian diteruskan oleh putra-putranya dan menantunya di antaranya KH. Ali Maksum yang terkenal alim, munjid berjalan, alumni pesantren Termas, dosen IAIN Sunan Kalijaga, kyai besar, dan pernah menjadi Rois Am PBNU. Mengapa anda dengan mudah mengatakan bahwa pesantren Krapyak yang beliau asuh sebagai pesantren yang tidak islami, penuh bid’ah?. Sebentar…., anda belajar al-Quran sudah berapa kali khatam ?
Mahasiswa : Saya telah belajar Iqra’ sudah jilid IV. (Ia mengatakannya dengan bangga. Ia mengira bahwa Iqra jilid IV adalah kitab hebat di bidang baca tulis al-Qur’an. Padahal kitab itu seperti halnya kitab turutan yang dipelajari awal sebelum santri belajar al-Qur’an yang berjumlah VI jilid berarti ia belum khatam Iqra’).
Saat ini banyak gejala orang alim diajari, digurui oleh orang yang mestinya belajar kepadanya. Sikap tawadhu’ keilmuan telah tergores berdarah-darah oleh budaya Barat dan kapitalis yang merusaknya. Bagaimana mungkin Rais Am PBNU dan Kyai besar Hafidz al-Qur’an dikritik habis-habisan tentang tradisi keislamannya oleh mahasiswa yang belajar Iqra’nya baru jilid IV, belum lulus. Luar biasa.
Memang dalam Qur’an kita diperintahkan untuk amar ma’ruf nahy munkar, watawa shau bilhaq watawashau bisshabr, tetapi bukankah taushiyah, kritik, saran, itu harus dengan tatakrama bilhikmah wal mau’idzatil hasanah wa jadilhum billati hia ahsan ?.
Kita diperintahkan untuk menjadi orang alim, jika belum mampu jadilah pelajar yang baik (kun ‘aliman au muta’alliman). Kita diperintahkan menghormati orang alim dengan tulus dan bila ada kekhilafan mengkritiknya dengan tulus dan data yang akurat. Jangan sampai terjadi kasus mahasiswa seperti di atas. Kita diperintahkan untuk melakukan sesuatu berdasarkan ilmu dan bukan berdasarkan nafsu. Banyak orang yang ingin jadi anggota pejabat, anggota DPR, kritikus atau semacamnya tetapi ia malas untuk membaca, malas memahami orang lain dan ia hanya yakin bahwa dirinya sendiri yang benar. Sikap egois intelektual yang menyesatkan.
Bagi orang yang egois seperti ini ia akan melakukan klaim, truth claim bahwa orang yang tawadzu’, yang sopan itu tidak kritis dan masuk katagori YESMAN. Hebat sekali ! dan ia akan berusaha untuk sekritis mungkin dengan menuduh sana-sini meninggalkan sikap tawadzu’, tabayun dan lain-lain.
Sikap kritis itu kewajiban setiap insan Muslim, jika seorang Muslim tidak kritis sesuai dengan kemampuannya berarti ia telah meninggalkan amar ma’ruf nahy munkar, ia berdosa. Sikap sopan itu juga kewajiban Muslim. Sikap jujur itu kewajiban Muslim. Sikap adil itu kewajiban Muslim. Lalu bagaimana kita memanaj kesemua kewajiban tersebut sehingga mampu menciptakan masyarakat yang damai, dinamis, kreatif. Di sini kita membutuhkan kearifan.
* Khutbah Jum’at di masjid al-Hidayah Karang Suci Purwokerto pada tanggal 31 Mei 2002.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar