Minggu, 09 Maret 2008

Karir di STAIN Purwokerto

KARIRKU TERSELIP DI GANG STAIN
DISUNDUL PASCASARJANA




Kusisir kesedihan dengan menengadah ke rahmat Tuhanku tatkala aku mendengar kabar bahwa aku ditugaskan menjadi dosen IAIN Sunan Kalijaga cabang Purwokerto. Suatu perjalanan hidup yang belum aku perhitungkan sebelumnya. Dengan berat aku melangkah menunaikan tugas di Purwokerto untuk waktu yang belum jelas. Seakan ada batu yang melingkar bagai ular di kakiku tatkala kulihat istriku yang sedang hamil menahan haru melambaikan tangan kecintaan dengan harapan bahwa cinta itu tidak akan habis untuk diposkan atau dibungkus dalam surat-surat yang sudah kami rencanakan untuk kami lakukan berdua.
Berat ! sungguh berat ! saya harus meninggalkan Yogyakarta di mana istriku tinggal sementara bersama orang tuanya karena masih kuliah di fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Ia bersama anak kami dalam kandungannya Anjaha Naufal Muhammad (Inov). Rencananya aku meninggalkan yogyakarta dan kos di Purwokerto dalam waktu sebulan atau dua bulan baru pulang ke Yogyakarta. Rencana yang tersusun dengan beberapa programnya pupus ditelan kerinduanku yang sangat dalam. Kerinduan yang bercampur dengan rasa kasih dan tidak tega membayangkan istriku yang sedang hamil tua sambil kuliah ditinggal suami yang sedang diberi tugas negara yang katanya menjunjung prikemanusiaan dan pri keadilan. Dan mungkin inilah keadilan yang telah ditunjukkan oleh negara ini kepadaku yang karena apa saya tidak jelas harus jauh-jauh dijebloskan dalam tugas mulia di rantau tapi mulia ini. Kata sebagian riwayat, kami yang ditugaskan di fakultas cabang adalah karena kami punya kesalahan sebagai aktifis PMII, NU atau karena pesantren Krapyak. Minimal inilah yang kami rasakan. Kami yang dituding memiliki kelebihan oleh banyak teman, minimal bila dibandingkan dengan mereka yang kurang berkualitas. Pada masa-masa itu, tahun-tahun 90-an saat kami ditugaskan di sini kekuasaan orde baru dalam kejayaan yang utuh. Pak Harto, yang Muhammadiyah, begitu kuat dengan tangan-tangan panjangnya di seluruh kawasan Indonesia.
Sebenarnya, sebelum saya menunaikan tugas di kota kecil ini, saya beserta istri melakukan survei dan menginap di komplek sekolah kepolisisan di rumah santriku dari Krapyak, Yuli Rahmiyati mahasiswa fakultas Biologi UGM. Pertama kali saya kost di rumah bu Bari, barat kampus. Saat itu detik-detik waktuku terasa sangat lama dan membosankan. Aku cukup kesal dengan waktu yang panjang. Akhirnya waktuku kubuang dengan kegiatan membaca dan menulis puisi atau cerpen. Sedih sekali. Semua kegiatanku yang menyebalkan kutulis dalam sebuah progress report dengan harapan dapat menunai guna manfaat. Akhirnya aku tak tahan tatkala sampai pada hari kesepuluh, saat itu aku langsung melesat ingin terbang secepat-cepatnya bisa menjumpai istriku dan membelai anakku yang sedang bermain dalam perut mamanya. Kutumpahkan semua rindu dan cinta kasih tak perduli apakah berlebih-lebihan atau tidak. Tuhan pasti rela dengan hambanya yang sedang dimabukkan oleh minuman cinta yang lama tidak diteguknya..
Sejak aku pulang dari tugas sepuluh hari pertama itu aku menyadari bahwa aku belum mampu berpisah lebih lama dari satu minggu berpisah dengan Istri dan anakku tercinta. Pada tahun 1994/1995 itu, aku rutin melintasi jalan raya Yogyakarta-Purwokerto setiap minggu sekali, Rabu sampai Jumat di Purwokerto kemudian pulang ke Yogyakarta. Jumat malam Sabtu aku tiba di Yogyakarta langsung mengajar di pesantren Mahasiswa di Krapyak. Tiap setelah maghrib, setelah Isya’ dan Shubuh aku rutin mengajar di pesantren Krapyak yang memang didesain untuk mahasiswa.
Di Fakultas Tarbiyah Purwokerto ini aku mesti naik angkot dulu jika mengajar di kampus lama jalan Jend. Sudirman. Pakai pakaian safari yang mebuatku sesak nafas. Jika tidak pakai pakaian sebagaimana ketentuan aku mesti dipelototi pembantu dekan II. Sebuah tradisi yang belumpernah terbayangkan bagaimana mungkin dosen yang idealnya bebas dipenjara dengan aturan-aturan yang menurutku tidak ilmiah. Aneh bin ajaib. Dalam pikiranku bagaimana pendidikan tinggi bisa maju jika pengelolanya seperti pengelola ketoprak yang suka memperhatikan kostum pemain-pemainnya. Pada saat ini aku juga disuruh mengajar di pesantren al-Hidayah Karang Suci. Setiap minggu dua kali aku menyusuri jalan dekat kuburan dan kali dari Karang Jambu sampai pesantren. Sejuta informasi dan pengalaman yang kuperoleh dari mengajar di pesantren-pesantren selama ini. Ada semacam kesadaran bahwa manusia adalah mahluk mulia yang dapat sukses dalam berbagai asumsi orang. Ada yang sukses-mulia dihadapan seluruh orang, mayoritas umat, atau minimal orang di lingkungannya. Begitu juga yang gagal dan tercela. Untuk itu setiap orang tidak boleh main klaim bahwa si A pasti baik dan B pasti jelek. Orang punya kelebihan dan kekurangannya sendiri. Tugas kita adalah menfasilitasi kebaikan dan metradisikannya sekaligus meminimalkan kejahatan dan mengkondisikan lingkungan agar setiril dari prilaku negatif tanpa harus menuduh dan menyakiti orang yang melakukan kejahatan.
Untuk mencukupi kebutuhan hidupku saat di Purwokerto, istri dan anakku serta transport pulang-pergi dan lebih-lebih untuk merebut ridlo-Nya aku harus senang-gembira mengajar di Pesantren Aji Mahasiswa yang dulu aku pernah menjadi pembantu direktur bidang kesantrian, penelitian dan pengembangan, mengajar di LKIM (Lembaga Kajian Islam Mahasiswa) Pesantren Krapyak, juga mengjaar di pesantren al-Hidayah Karang Suci milik Gus Nur (Nur Iskandar al-Barsani). Selain itu juga aku berikhtiyar dengan jualan pakaian yang aku bawa dari Yogyakarta kubawa ke Purwokerto. Untung di sini aku dibantu oleh dua mahasiswiku untuk memasarkannya. Sebenarnya aku kurang bakat berdagang, tetapi karena kondisi semuanya kulakukan dengan senang hati. Terasa lelah sekali tubuhku kala itu tetapi kegembiraanku bersama sahabat karib, keluarga dan para santri membuat waktu yang terasa lama ternyata menjadi amat cepat tak terasakan.

Terimakasih S-2
Rutinitas melanglang Buana dan grubyak-grubyuk seperti ini berlangsung terus sampai pertengahan tahun 1996 saat aku diterima di program biasiswa S-2. Mestinya pada tahun 1995 saya bisa mengaji di S-2 jika kala itu aku diberi ijin untuk itu oleh pak dekan. Sayang prilaku ketat tidak hanya dalam berpakaian dan upacara tetapi juga terhadap studi diketati, dilarang studi dengan alas an menunggu giliran. Saat itu tiap tahun hanya ada satu. Tahun 1994 cak Luthfi saja yang studi di S-2 IAIN Yogyakarta dari sekitar tiga-empat orang yang mendaftar. Tahun 1995 hanya pak Hariri yang nyantol di S-2 IAIN Arraniri Banda Aceh. Dan pada tahun 1996 hanya saya yang diterima studi di S-2 IAIN Yogyakarta yang pada saat itu ditakut-takuti oleh sebagian teman-teman jangan-jangan diterima di IAIN Aceh atau luar Jawa lainnya. Untung aku tidak goyah dengan godaan itu. Aku tetap mantap dan yakin diterima di S-2 IAIN Yogyakarta dan aku akan leluasa bercengkrama dengan anak dan istriku tersayang. Tahun 1997 sahabatku al-mahbub, Atabik diterima di S-2 IAIN Jakarta dan saudara Wahyu Budisantoso di IKIP Jakarta. Pada tahun 1998 saat aku lulus S-2 banyak teman yang studi S-2 terutama di IKIP Yogyakarta (lima orang), UGM, filsafat (1 orang), IAIN Semarang (1 orang), IAIN Riau (satu orang shahib karibku cak Anshori, yang kumotivasi tiada henti) dan di IAIN Jakarta mengambil program DBT (Doktor Bebas Terkendali).
Saat diterima di S-2 aku amat-sanga bahagia dan bangga. Di sisi lain aku bisa mereguh kasih, merapatkan cinta dan menggapai cita. Apalagi kala itu anakku sudah hampir satu tahun usianya semakin menambah kebahagiaanku. Aku bisa studi, bercengkrama dengan anak-istri dan mengabdi dengan lebih konsentrsi kembali di pesantren Krapyak serta mendampingi istriku yang sedang merampungkan studinya di IAIN.
Pada tahun 1996 ini aku kembali diberi amanah mengabdi dipesantren menjadi staf ahli di pesantren Aji Mahasiswa di samping mengajar setiap bakda Isya’ dan Shubuh atau pada program-program khusus seperti liburan, puasa dan seminar atau diskusi. Pada saat di pesantren ini aku telah dihadapkan berbagai masalah pelik santri mahasiswa yang dengan segala macam problem masing-masing santri mereka ngaji di pesantren yang memang didesain secara khusus untuk mereka. Pesantren ini mencoba mengintegrasikan model perguruan tinggi dalam sisi metode pengajaran dan sistem klasikalnya, model pesantren salaf plus dalam hal materi kajian dan pendidikannya dan model perusahaan dalam hal menejerial dan keuangannya. Segudang problem telah aku hadapi, diseleseikan dan berbagai tantangan telah aku antisipasi dengan rencana program dan alternatif solusinya. Sebagai staf ahli aku telah banyak berbuat walau pun tidak hak untuk menentukan kebijakan pesantren. Pesantren, walau modern, tetap saja merupakan kerajaan kecil yang independen.
Pada saat yang hampir bersamaan di tahun 1996, aku ditunjuk sebagai ketua Pengurus Wilayah Lembaga Dakwah NU (PWLDNU) Propinsi DI Yogyakarta membawahi cabang-cang lembaga dakwah NU di kabupaten yang pengurusnya lebih tua dariku. Saat itu aku merupakan ketua termuda usianya di lembaga atau lajnah PWNU yang ada di DIY atau bahkan di Indonesia. Hal itu dapat aku ketahui tatkala ada acara RAKERNAS di Taman Mini Indonesia Indah (TMII) pada tahun 1999 yang pesertanya jauh diusiaku. Hal serupa juga terbukti saat ada Rakornas PBNU di Hotel Indonesia Agustus 2000 dan Orientasi Nasional Muballigh/muballighah di Hotel Indonesia tahun Pebruari 2001. Sykur aku telah diajari oleh NU untuk berbuat lebih banyak dari sekedar sebagai penonton setia. Walau demikian dalam hatiku tetap terpatri bahwa organisasi hanyalah wasilah atau media perjuangan untuk mengabdi kepada Allah dan mencari ridla-Nya. Karenanya semua makhluk atau manusia lain di luar organisasi yang kuabdi tetap merupakan sahabat hidup yang harus dihormati dan dikasih sayangi.
Pada tahun-tahun awal pernikahan sampai tahun 1998 aku nunut di dua kamar milik mertua yang saat itu tidak ditempati karena ditinggalkan anak yang kost disana. Dua kamar yang rusak, kusam dan seram itu sedikit demi sedikit kubersihkan, kuperbaiki dengan menambal tembok yang telah sangat rapuh, menambal pintu yang sudah bolong-bolong. Di sebelah belakang kamar belum ada sekat sehingga terasa gabung dengan anak-anak kost untuk itu kuberi satir atau penutup dengan menumpuk kardus sehingga mirip kemah. Di sebelah selatannya adalah tumpukan kayu kotor dan rapuh yang setiap waktu kubersihkan agar tidak dijadikan markas para tikus dan hewan menakutkan lainnya. Satu tahun berikutnya saya sempatkan membeli triplek dan kayu untuk dibuat sekat. Awalnya sekat sebelah samping Timur kemudian belakang sebelah selatan. Membeli sekat saat itu merupakan upaya yang cukup berat karena beberapa keterbatasan.
Pada tahun 1997 rizqi yang diberikan oleh Allah yang aku tabung kumanfaatkan untuk membuat pondasi disebelah utara makam setelah mempertimbangkan untuk kost pindah dari dua kamar yang sempit itu. Satu bulan membuat pondasi empat bulan berhenti, kemudian membuat tembok empat bulan lagi baru membuat cor dag atas karena rumah ini memang dikonstruk untuk lantai dua atau tingkat dengan alas an hemat tanah dan untuk ruang diskusi anak-anak nanti. Setelah selesei disor pada pertengahan tahun 1998 aku langsung mengajak istriku untuk pidah tampa menunggu ada pintu atau cendelanya. Saat itu pintu dan jendela kami tutup dengan triplek bekas untuk ngecor dari pada dibuang.
Pembuatan rumah ini bersamaan dengan studiku di S-2 dan menjelang akhir studi kami ngecor rumah ini. Modal yang pas-pasan membuat pikiranku seakan pecah. Karena mau hutang di Bank persyaratannya bertele-tele, hutang ke orang kaya yang sangat kukenal juga sia-sia. Akhirnya yang aku lakukan adalah tumbal sulam dengan meminjam uang ke beberapa teman yang saat itu juga pas-pasan. Uang mereka kuhutang sekitar 20 hari, satu bulan langsung aku kembalikan. Apabila kurenungkan agak sulit dinalar, berkat rahmat Allah kondisi sulit keuangan bersamaan dengan puncak krismon, saat satu dolar senilai Rp.15.000 lebih. Harga besi menjulang naik. Berat. Alhamdulillah selesei. Bersamaan dengan seleseinya aku studi di S-2 dan diterima di S-3.

Empat Grojokan Rahmat Tuhan Di Tahu 1998

Tetesan air mataku sulit kutahan tatkala hari itu turun rahmat yang secara bersama-samaan. Pertama aku selesei studi S-2 tepat waktu dua tahun sesuai beasiswa yang diberikan depag Jakarta dan pada September itu aku wisuda S-2. Kedua aku telah dikaruniai anak perempuan melengkapi kegembiraanku dengan anak laki-laki yang pertama. Anak perempuan kami ini lahir di Rumahsakit DR. Sardjito seperti anak kami yang pertama. Ketiga saat anakku telah lahir dengan selamat pada pukul sekitar pukul 10.00 WIB aku langsung ke kampus IAIN untuk meloihat pengumuman tes S-3ku yang kebetulan saat itu telah diumumkan ternyata al-hamdulillah aku diterima dengan biasiswa dari departemen agama RI. Karenanya tujuh hari berikutnya anak kedua kami, kami beri nama Najiha Yustika Ghina Puspita. Dan yang keempat kami telah bisa “menyeleseikan” gubuk tempat tinggal yang walau belum sempurna merupakan kegembiraan, kebanggaan dan keharuan tersendiri karena kami berusaha mendirikannya dengan susah payah dan saya tempati dengan nyaman setelah sekian tahun kami menempati satu kamar kemudian dua kamar yang sangat susah untuk bisa menghormati tamu dengan optimal.

S-3 dan Direktur LKIM
Aku masuk kuliah di S-3 IAIN saat aku disibukkan oleh anak kecil dan rumah yang masih serba kurang. Rumah yang masih membutuhkan sentuhan tangan-tangan istoqomah pemiliknya yang kebetulan kekurangan modal maka harus dengan sabar dikerjakan sendiri sedikit demi sedikit. Maka bisa dikatakan bahwa studi ini kurang mendapatkan perhatian cukup ibarat hal remeh yang tak terperhatikan.
Dalam waktu yang bersamaan aku baru saja diangkat untuk jadi wakil direktur LKIM membantu DR. Hamam Hadi menantu KH Ali Maksum alumnus UNCLA Kalifornia Amerika Serikat dan satu tahun berikutnya dengan berbagai pertimbangan pak Hamam mengundurkan diri jadi direktur yang kemudian aku menjadi direkturnya merangkap wakil direktur bidang akademik. Selama satu semester aku berusaha mengemban amanah ini tetapi akhirnya jabatan direktur ini harus kulepaskan juga demi ketenangan, kesehatan dan waktu yang semakin membelit diri.
Menjadi staf ahli, Ketua PWLDNU dan wakil direktur menambah kesibukan menjadi-jadi belum lagi di organisasi lain yang mebutuhkan keterlibatanku semisal di farum pesantren Masyarakat sebagai wakil ketua, LeSPiM sebagai bendahara dan koordinator Kajian dan Penelitian otomatis dan seambrek lembaga atau kegiatan masyarakat lagi. Dengan menggunungnya kegiatan kemasyarakatan yang kurengkuh berkonsekwensi pada melemahnya frekwensi studiku di S-3.
Bagiku hal ini ibarat buah simalakama. Tuntutan masyarakat seakan menyentuh hati nurani yang seakan tidak bolek dijawab “jangan !”. Sementara kuliahku juga memanggil amat kuat dengan memberikan iming-iming masa depan yang lebih cerah dari pada berbakti pada organisasi dan masyarakat yang tidak memberikan janji masa depan yang makmur. Ada semacam keinginan kuat bagaimana dua hal yang positif (studi-mengabdi) ini mengintegral dalam diriku dengan sama-sama membawa sukses masa depan. Tetapi bagaimana realisasinya Tuhan saja yang tahu.
Akhirnya S-3ku selesei sudah teori/tatap mukanya. Tepat tiga semester sesudah itu aku hampir tidak pernah lagi pergi ke kampus sebagaimana biasa..

Dicuekin Lalu Jadi Pejabat P3M Lhoo Kok Sulit Tidur

Selesei teori S-3 mestinya segera kurampungkan Disertasi, saying penyakit malasku kambuh nggak ketulungan. Akhirnya pada Januari aku memantapkan diri tinggal di Purwokerto seperti dulu dilaju. Pada saat itu aku pertama ditawari menjadi ketua prodi KI tetapi karena disertasi belum selesei dan jabatan itu harus istiqomah di kampus aku wajib menyelamatkan semuanya dengan menghindari jabatan mulia tapi berat tersebut.
Karena peristiwa tertentu, aku diminta oleh pimpinan untuk menjadi sekretaris P3M yang kosong. Di posisi ini, ku menyanggupinya dengan alasan sesuai dengan kecenderungan bakat juga karena jabatan ini bisa ditinggalkan beberapa saat karena tidauk harus berhadapan langsung dengan mahasiswa apalagi di tempat ini ada Sony Susandra dan Sumiarti (keduanya alumni S-2 IAIN Semarang) sebagai staf yang sangat tekun mendampingi pelaksanaan program-program P3M seakan-akan merekalah pejabat yang sebenarnya.
Di tengah-tengah melaksanakan tugas berat ini aku menerawang ke masa laluku di institusi ini yang dicuekin paling tidak diakhirkan tatkala ada pembagian kue kemajuan dan kesejahteraan lewat alat-alat tugas yang mereka bangun sendiri setiap saat.
Baru pada tahun 1997 aku diberi amanah PA tatkala teman-temanku sepriode telah menjadi PA (penasehat akademik) pada tahun 1994-1995. Itupun diawali dengan “perampasan” tugas yang awalnya telah diberikan. Selain itu baru pada akhir tahun 2000 aku diutus untuk mewakili suatu acara yaitu pada acara work shoop yang dilaksanakan CTSD di Yogyakarta dan pada acara Studi Gender Desember 2000. Micro Theaching, PPL, DPL KKN, Panitia-panitia seminar/diskusi/pelatihan dan pembimbing atau penguji sekripsi yang aku sudah memenuhi syarat merupakan hal yang saat itu masih dalam katagori lamunan.
Nilai edukatif yang bisa aku petik adalah pendidikan Allah agar aku memprioritaskan studi, kesabaran, ketekunan, tidak tamak, cerdas dan jujur.
Tapi sayang setelah jadi sekretaris P3M kok aku jadi susah tidur. Ada semacam beban bagaimana aku bisa memberi nilai lebih di lembaga yang merupakan bagian setrategis dari lembaga yang akut dan bobrok di segala sudut-sudutnya. Semoga aku bisa berbuat di tengah kelemahan yang ada tanpa harus menyakiti orang lain atau menjatuhkannya. Amiin.

Purwokerto, 28 Pebruari 2001
Al-Faqiir,


Muhammad Roqib

2 komentar:

Burhan Ali Setiawan, S.H.I mengatakan...

Assalamu'alaikum...
Pendekar STAIN
Berjuanglah terus kembangkan STAIN Purwokerto.
BarokaLLohu Laka
Wassalamu'alaikum...
Kunjungi blogku pak!
www.burhanalisetiawan.blogspot.com
ku tunggu nasihat-nasihatnya lho tadz
By:Santrimu "Bahrudzunub"

Renaissance mengatakan...

Mengharukan pak..
saya asli purwokerto dan pernah tinggal di jogja, akrab juga dengan Mas Muwafiq yg PMII juga, barangkali panjenengan kenal...

keletihan panjenengan tak sia-sia..
saya juga ikut bangga dengan panjenengan, semoga panjang umur, sehat penuh barokah..