Minggu, 09 Maret 2008

Khutbah: Kontekstualisasi Korban; Integrasi Dzikir, Fikir, dan Materiil

Teks Khuthbah Iedul Adha 1421 H





KONTEKSTUALISASI KORBAN:
INTEGRASI DZIKIR, FIKIR DAN MATERIIL
Oleh. Dr. H. Muhammad Roqib, M.Ag

Berkorban itu mahal. Sebab tidak banyak Muslim yang mampu berkorban dengan arti yang sesungguhnya. Yang mudah kita jumpai adalah “iklan” yang diproklamirkan dengan “korban”. Mereka mengeluarkan sesuatu untuk iklan, promosi, dan mendongkrak prestisenya tetapi dibahasakan dengan korban dan kalau perlu dieksplisitkan dalam bentuk pernyataan. “Semua yang saya lakukan semata-mata demi rakyat, demi bangsa, demi hati nurani. Semuanya saya “korbankan” untuk kalia, untuk kesejahteraan kalian maka jangan sampai lupa semua ini saya lakukan secara ihlas”. Indah memang pernyataan sang tokoh kita ini. Tetapi bila kita cermati ada yang janggal di manakah nilai spiritualnya jika berkorban digembar-gemborkan kesana ke mari, pakai safari lagi ? Bukankah ihlas itu ada di hati dan tidak penting untuk dinyatakan dalam bentuk verbal ?.
Terkait dengan korban Allah Swt. Berfirman yang artinya “Sesungguhnya Kami telah menganugrahkan kepadamu nikmat yang banyak. Maka beribadah (shalat)lah karena Tuhanmu dan berkorbanlah”. Dalam ayat ini Allah mengkaitkan tiga hal yaitu anugrah nikmat, shalat yang merupakan ibadah ritual dan inti nilai sporitual Islam, dan yang terakhir berkorban yang disimbolkan dengan penyembelihan hewan korban yang dimiliki dan bukan mengorbankan fisik (diri)nya sendiri seperti biasa disebut “persembahan”.
Ketiga hal ini saja yang akan dijelaskan dengan mengkaitkan dengan konteks perkembangan jaman sekaligus bagaimana dengan konteks itu kita berusaha memenej dzikir (hati), fikir (rasio), dan fisik (materiil) kita agar seluruhnya mengabdi, tunduk patuh hanya kepada Allah Swt.
Pertama, Allah sesungguhnya telah memberikan nikmat yang tak terhitung kepada kita. Di antara nikmat terbesar adalah kesadaran bertauhid, iman-islam. Nikmat lain yang jarang diingat adalah nikmat kesehatan dan kesempatan. Padahal nikmat ini amat penting dan memiliki nilai yang tidak bisa diukur dengan apa pun. Untuk itu harus dimanfaatkan jika tidak maka kesehatan akan memberikan “warisan” kepedihan, kekecewaan, dan bahan tertawaan orang lain. Banyak orang gagal karena moralitas dan spiritualitasnya rendah dan mengecewakan. Di antara sekian nilai moralitas dan spiritualitas adalah pemanfaatan waktu yang efektif-efesien sesuai dengan kemampuan fisik, fikiran dan hati nuraninya. “ Di antara tanda kebaikan keislaman seseorang adalah kemampuannya untuk meninggalkan sesuatu (barang , keyakinan, pemikiran, perasaan atau aktifitas) yang tidak berguna” demikian Nabi menegur kita semua. Di sinilah pentingnya integritas moral dan spiritual.
Nikmat yang paling “cetho welo-welo” adalah nikmat harta dan kekayaan. Harta masuk katagori kenikmatan jika harta tersebut berfungsi sebagai media ketakwaan dan kedekatan (taqarrub) kita kepada Allah Swt. Karena harta apa pun bentuk dan wujudnya merupakan ujian dan cobaan Allah kepada kita. Dengan cobaan tersebut diketahui apakan kita taat kepada-Nya atau tidak. Termasuk katagori harta adalah keluarga dan fasilitas lainnya. Sesungguhnya harta-harta kekayaan dan anak-anak kamu adalah fitnah atau cobaan bagi kalian demikian Allah mengingatkan kita.
Harta dan kekayaan sangat efektif untuk pendekatan kepada Allah sama efektifnya untuk menjauh sejauh-jauhnya kepada Allah. Untuk itu memanfaatkannya untuk

Tidak ada komentar: