Minggu, 09 Maret 2008

Manajemen Masjid dan Lembaga Keagamaan

MANAJEMEN LEMBAGA KEAGAMAAN
( TPQ, MADIN, MAJLIS TA’LIM, DAN MASJID) [*]
Oleh. Muhammad Roqib


Harga hidup manusia ditentukan oleh kualitas manfaat hidupnya untuk lainnya. Kualitas tersebut terkait dengan intensitas, komitmen, dan keberpihakan kepada keadilan, kemanusiaan, dan kesejahteraan umat. Hidup “rekat” dengan denyut nadi umat merupakan “napak tilas” jejak Rasul. Kebanggaan dan kebahagiaan sejati terukir menyejukkan tatkala “nilai luhur” itu menginternal dalam diri tanpa tendensi duniawi tetapi mengharap ridlo Ilahi.
Kalimat di atas ditulis untuk memotivasi kita agar sukses bersama. Sukses bersama dengan memanfaatkan fasilitas serba guna, murah, egaliter, mudah dijangkau, dan demokratis. Fasilitas yang telah menjadi bagian dari hidup umat. Taman Pendidikan al-Qur’an, Madrasah Diniyah, Majlis Ta’lim, dan Masjid. Masjid merupakan tempat peribadatan yang hampir semua desa dan lingkungan Muslim memilikinya. Karena telah menjadi kebutuhan bersama masjid “disengkuyung” bersama. Hanya karena kualitas dan kemampuan yang berbeda kelengkapan lembaga di dalamnya menjadi beragam. Masjid ideal di antaranya dilengkapi kegiatan keagamaan yang diorganisasikan dalam bentuk TPQ untuk “meretas” anak sholih dambaan orang tua. Madrasah Diniyah merupakan lembaga lanjutan bagi alumni TPQ agar kemampuan keagamaanya lebih memadai. Sedang majlis ta’lim merupakan lembaga pendidikan yang biasanya diikuti oleh orang tua atau umum.
Ketiga program keagamaan ini biasanya berpusat di Masjid meskipun terkadang bertempat di rumah ulama, kyai, atau masyarakat pada umumnya secara bergiliran. Bagaimana dengan manajemen ketiga program ini agar lebih berkembang dan maju. Tulisan berikut mengulas serba singkat sebagai bahan renungan dan diskusi.

Menyatukan Program dalam Manajemen Masjid

Fasilitas religius-sosial ini ada di hampir setiap komunitas Muslim meskipun selama ini masih belum dioptimalkan bahkan terkesan terabaikan. Padahal, mengabaikan sesuatu itu dilarang agama, tetapi karena pengabaian ini telah menjadi kebiasaan maka tidak terasakan lagi. Fasilitas sosial-religius itu adalah masjid.
Pengoptimalan fungsi masjid dibutuhkan keterlibatan berbagai pihak. Butuh jam’iyyah dan jama’ah. Jam’iyyah berarti membutuhkan kepemimpinan, job discription, tata kerja, dan tanggungjawab. Jama’ah berarti membutuhkan kebersamaan untuk memakmurkan masjid. Gotong royong untuk membangun secara ideal fisik sesuai dengan fungsi dan memfungsikannya untuk kemaslahatan jamaah dan umat.
Secara praktis, ada beberapa langkah dalam melakukan pengembangan manajemen masjid;
I. Pengembangan suatu organisasi, lembaga, atau masjid menuntut “aktor” memiliki karakter progresif-kreatif-inovatif. Karakter tersebut diaplikasikan secara demokratis dengan melibatkan orang-orang yang memiliki karakter serupa serta jama’ah lain agar memiliki peran dan keterlibatan untuk lembaga. Sikap seperti ini harus diimbangi dengan kecintaan terhadap ilmu dan orang lain agar progresifitas berkembang sehat dan kebersamaan selalu tumbuh.
II. Mengaplikasikan manajemen dalam melaksanakan tugas. Manajemen merupakan proses perencanaan, pengorganisasian, dan penggunaan sumber daya organisasi lainnya agar mencapai tujuan organisasi yang telah ditetapkan. Aktor harus mampu memberikan pengarahan dan fasilitas kerja kepada “partner” agar mereka kooperatif dengan kita menuju cita-cita dan tujuan lembaga atau masjid kita.
III. Manajemen ini diperlukan untuk mencapai tujuan organisasi (masjid) dan pribadi aktor (dalam arti positif), menjaga keseimbangan di antara tujuan yang saling bertentangan di kalangan aktifis jam’iyyah dan jama’ah, dan agar terjaga efisiensi dan efektifitas kerja organisasi (ketakmiran) sehingga setiap individu terpuaskan secara material dan immaterial (dhohir-batin).
IV. Secara operasional, pengelolaan masjid harus memegangi prinsip manajemen yaitu 1) pengembangan metode tertentu, 2) pemilihan dan pengembangan pelaksana program 3) upaya menghubungkan dan mempersatukan metode kerja yang terbaik, dan 4) kerja sama yang erat para pimpinan (top leader takmir) sebagai manajer dan pengurus lain dan anggota (non manajer) untuk merencanakan. Keempat prinsip tersebut apabila dijabarkan menjadi prinsip manajemen yang meliputi job discription, wewenang, disiplin, kesatuan arah, mengutamakan kepentingan umum (jama’ah) di atas kepentingan pribadi, pemberian reward, pemusatan, semangat korps, inisiatif, kestabilan anggota pengurus (staf), kesamaan, dan penjenjangan dalam pengkaderan untuk mengemban (amanah) jabatan kepemimpinan ketakmiran ke depan. Atau dalam bahasa lain kita harus melakukan perubahan berkelanjutan, kecepatan dan kemampuan untuk merespon, leadership juga harus ada pada setiap person, pengendalian melalui visi dan value, sharing informasi, pro aktif dengan berani menanggung resiko, dan mau bersaing dalam proses meraih masa depan masjid yang gemilang. Apabila kita kerucutkan beberapa hal tersebut maka dalam pengelolaan masjid pengurus (takmir) masjid harus membuat job discription, melaksanakan dengan penuh tanggungjawab, dan bekerjasama dengan semua komponen baik pengurus maupun jama’ah masjid.
V. Pengelola masjid melakukan planing, leading, organizing, dan controling. Perencanaan (planing) harus dilakukan, sebagaimana niat harus dilakukan pada awal setiap ibadah, kepemimpinan (leading) harus berjalan dalam pelaksanaan (actuating) program pengelola masjid di antaranya dengan decision making, komunikasi, motivasi, seleksi SDM (jama’ah), dan melakukan development of people. Pengorganisasian (organizing) perlu dilakukan agar dalam pelaksanaan program, pelaksana mampu bekerjasama dengan penuh kekompakan. Dalam pelaksanaan pengurus juga melakukan kontrol (controling) dan evaluasi yang ditindaklanjuti dengan aksi kembali agar aktifitas kita tidak keluar dari visi-misi organisasi (ketakmiran), kualitas kerja terjamin, dan hasilnya dapat diketahui, serta untuk evaluasi dalam rangka perencanaan program ke depan.
VI. Bagaimana agar masjid yang kita kelola menjadi masjid yang terbaik, karena yang terbaik niscaya akan memiliki nilai guna terbaik dan dicari masyarakat. Manusia terbaik (khairunnas) adalah yang mampu memberikan manfaat terbaik bagi yang lain kita akan menjadi (anfa’uhum linnas). Motivasi untuk maju dan menjadi yang terbaik ini merupakan modal awal bagi siapa pun yang menginginkan untuk menjadi yang terbaik. Motivasi tersebut dalam praktiknya akan terwujud dalam bentuk bekerja keras sambil terus belajar, dan kerjasama yang mentradisi dalam diri. Untuk itu diperlukan proses internalisasi nilai asma’ dan sifat-sifat Ilahiyah agar predikat insan kamil yang diridloi Allah Swt menjadi riil dalam kehidupan kita.

Purwokerto, 8 Juli 2005
Al-Faqiir,


Muhammad Roqib
[*] Bahan untuk Pembekalan KKN Mahasiswa STAIN Purwokerto, 8 Juli 2005.

Tidak ada komentar: