HUBUNGAN MANUSIA DENGAN ALAM[1]
Oleh Dr. H. Moh. Roqib, M.Ag. ٭٭
I. PENDAHULUAN
Tragedi lumpur panas di Sidoarjo Jawa Timur sungguh menyayat hati. Semestinya kejadian ini –juga kejadian yang lain yang datang bertubi-tubi dan hampir bersamaan—cukup menyadarkan semua individu untuk memperbaiki diri. Dari tragedi itu paling tidak dapat dipahami bahwa a) kerusakan yang terjadi, sebagian besar, adalah akibat ulah manusia, b) pemahaman keagamaan kita selama ini dirasakan kurang mampu untuk membuat lingkungan ini menjadi lebih teduh dan indah, c) keteladanan untuk menciptakan bumi yang ramah terhadap manusia hendaklah merupakan agenda mendesak yang harus dilakukan oleh pemegang kebijakan pada wilayah dan posisi apapun.
Dalam konteks pemahaman terhadap ajaran agama tentang alam, ada agenda yang harus dilakukan oleh tokoh agama dan pemerintah yaitu 1) bagaimana hubungan antara manusia dengan Tuhan dan alam, 2) mengapa ajaran agama belum sukses membentuk manusia yang ramah alam, sehingga lingkungan alam juga ramah terhadap manusia, 2) bagaimanakah ajaran agama memberikan gambaran tentang sisi penting menjaga kelestarian alam dan tidak berbuat kerusakan, 3) bagaimana strateginya agar pemahaman ajaran agama dapat diartikulasikan dalam kehidupan umat, 4) siapakah yang berkewajiban untuk melakukan tugas mulia tersebut.
Tulisan ini akan mengupas beberapa pertanyaan tersebut serba singkat dengan tujuan untuk mendapatkan umpan balik dari peserta diskusi.
II. KOMUNIKASI MANUSIA DENGAN ALAM
Manusia sebagai individu dan sosial berkewajiban untuk melakukan komunikasi secara dekat dengan Tuhan (hablun min Allah) dan komunikasi secara harmonis dengan alam (hablun min al-’alam). Manusia sebagai aktor dalam berkomunikasi sering mendapatkan penekanan lebih dari makhluk lain sehingga muncul istilah yang lebih populer hablun min an-nas, hubungan (baik) dengan sesama manusia, dari pada kata hubungan baik dengan alam. Secara kosmologis manusia menjadi bagian dari makrokosmos yang diharapkan mampu menjaga hubungan baik dengan sesamanya.
Sebagai individu ia harus membangun komunikasi yang baik dengan sesama manusia. Manusia tidak bisa hidup tanpa yang lain. Bahkan dalam shalat pun ia harus bersama dan damai dengan yang lain. Jama’ah menunjukkan arti kebersamaan sedang untuk shalat (jamaah) berarti salat tersebut dilakukan secara bersama-sama antara imam (yang memimpin shalat) dan ma’mum yang mengikuti imam dalam shalat. Dalam konteks sosial ada kata Ijtima’iyah yang berarti sosial-kemasyarakatan.
Perkembangan Fiqh akhir-akhir ini juga bersentuhan dengan kehidupan sosial yang kemudian dikenal dengan sebutan fiqh ijtima’i atau fiqh sosial. Kajian fiqh dalam perspektif baru ini ini mendapatkan perhatian serius dari kalangan intelektual Muslim di antaranya oleh KH. Ali Yafie[2] dan KH. Sahal Mahfudz[3] dan juga oleh santri Ma’had Ali yang telah menerbitkan Fiqh Rakyat[4] yang di awal bab mengkaji tentang “Mendamaikan Yesus dan Muhammad”. Pengembangan pemikiran fiqh sosial di atas mulai terbangun kuat dan berkembang pesat di pesantren-pesantren NU pada umumnya, sedangkan dalam konteks sosial yang lain seperti tauhid sosial lebih gencar digelindingkan oleh komunitas Muhammadiyah yang memang sejak awal tauhid sebagai pijakan dakwah perserikatan ini.
Sesuatu yang menarik dicermati dalam konteks ini adalah kecenderungan Kyai atau ulama yang tertarik fiqh dan tauhid sebagai pijakan awal berfikirnya. Kyai atau intelektual Muslim yang lebih mengedepankan aspek fiqh dalam pengembangan berfikirnya dikenal lebih mengembangkan watak akomodatif-kultural sehingga tidak menimbulkan konflik dengan budaya lokal di mana Islam dikembangkan. Berbeda dengan tokoh atau intektual Muslim yang corak berfikirnya lebih teologis (aqidah) dikenal watak berfikir dan gerakan dakwahnya cenderung tegas dan legal-formal atau bahkan radikal tatkala menyapa kultur atau budaya setempat.
Istilah Fiqh sosial dan Tauhid sosial selama ini lebih tertuju pada sisi aplikatif nilai ajaran dalam kehidupan sosial. Pendekatan fiqh lebih dimungkinkan adanya pengembangan kedamaian hubungan antar agama dan sikap pural dibandingkan dalam pendekatan tauhid. Dalam konteks spriritual, dialog diperlukan agar pemikiran yang berkembang tidak menimbulkan ekses negatif bagi umat sendiri dan juga bagi umat lain. Agama berfungsi sebagai rahmatan lil ‘alamin harus dibuktikan dalam kehidupan riil umat.
Berbicara tentang hubungan budaya dalam masyarakat majemuk ada tiga teori yang menunjukkan corak yang berbeda yaitu etnosentrisme, melting pot (peleburan), dan pluralisme.[5] Etnosentrisme terjadi bila masing-masing budaya bersikukuh dengan identitasnya, dan menolak campurtangan kebudayaan lain. Melting pot ialah peleburan komponen-komponen etnis ke dalam hanya satu identitas baru. Sementara pluralisme dimaksudkan bahwa masing-masing etnisitas tetap memegang identitas kelompoknya, tetapi dalam beberapa hal ada identitas yang sama.
Pluralisme (atau paham kemajemukan) pada dasarnya merupakan pertalian sejati kebinekaan dalam ikatan-ikatan keadaban (genuine engagement of diversities within the bonds of civility) yang merupakan keniscayaan bagi keselamatan umat manusia antara lain melalui mekanisme pengawasan dan pengimbangan yang dihasilkannya,[6] bukan sekedar “kebaikan negatif” (negative good) yang difungsikan sebagai upaya menyingkirkan fanatisme.[7]
Pluralisme, dengan demikian, membutuhkan pengakuan, penerimaan, dan sikap tulus terhadap kemajemukan yang ada sebagai rahmat Allah SWT untuk membawa manusia ke akulturasi budaya dan peradaban yang tinggi dan dinamis (masyarakat mutamaddin atau civil society).
Pluralisme yang berkembang bisa menuju ke arah positif tetapi juga bisa negatif. Pluralisme menjadi positif apabila individu memahami di luar agamanya ada agama lain yang harus dihormati dan masing-masing agama harus tetap memegang teguh agamanya yang berarti bersikap positif terhadap agamanya sendiri. Tetapi pluralisme akan negatif jika individu mengumpamakan agama seperti baju yang dengan mudah ia menggantinya sesuai dengan kondisi dan selera (kepentingan sesaat). Pluralisme negatif akan menimbulkan masalah baru yaitu ketersinggungan para pemeluk agama karena agamanya dibuat mainan dan kurang berarti.
Beberapa ilmuan Muslim selain konsen terhadap masalah sosial, pada akhir-akhir ini juga telah dilakukan kajian ke bidang ke alaman lain seperti Islam dan Lingkungan Hidup dan Fiqh Tanah. Dua tema kajian yang mungkin belum begitu populer di telinga umat Islam sendiri.
Sebagai individu, manusia juga harus berkomunikasi dan berbuat baik (amal shalih) dengan alam dalam bentuk menghidupkan, merawat, melestarikan, dan meningkatkan potensi alam. Segala bentuk perbuatan yang akan mengurangi bahkan menghilangkan daya kemanfaatan alam dilarang oleh agama. Membakar atau memotong tumbuhan tanpa alasan syar’i (yang diperbolehkan oleh agama) dilarang. Menyembelih atau membunuh binatang dengan cara yang menyiksa atau tidak ada gunanya dilarang agama.
Agama sebagai rahmat bagi alam semesta hanya akan terwujud jika anjuran untuk menjaga alam (khalifah fil ardh) diperankan oleh manusia dengan baik dan menjahui segala bentuk perbuatan yang akan merusak alam. Ada lima hal yang harus dipertahankan dan dijaga oleh setiap individu (al-muhafadhat al-khams) yaitu: a). hifdh al-din, menjamin keselamatan keyakinan agama masing-masing, b). hifdh al-nafs, jaminan keselamatan kehidupan bagi warga masyarakat dan alam karenanya pemerintahan harus berdasarkan hukum, dengan perlakuan yang adil kepada semua warga masyarakat dan alam tanpa kecuali, c). hifdh al-‘aql, menjamin setiap bentuk kreasi baik bersifat intelektual maupun budaya dan seni. Pemikiran keagamaan apapun harus dihargai dan tidak boleh dimatikan. Formalisasi pemikiran keagamaan akan menindas hak individu untuk menganut kebenaran. Islam memberikan ruang bagi setiap individu untuk melakukan eksperimentasi kebenaran melalui pengalaman esoteris dan proses dialektis, d). hifdh al-nasl, menjamin keselamatan keturunan alam agar tetap berkualitas dan lestari. Setiap kehidupan wajib diselamatkan dari kepunahan dan kehancuran, e) hifdh al-mal, menjamin keselamatan harta benda (al-milk, property) dan hak kepemilikannya. Dengan hak tersebut warga masyarakat secara perorangan memiliki peluang dan sarana untuk mengembangkan kreatifitas diri dan kesediaan untuk melakukan transformasi dalam kehidupannya sesuai dengan pola yang ia pilih dan tidak keluar dari alur umum kehidupan.[8]
III. STRATEGI PELESTARIAN ALAM
Dalam konteks teologis, Tuhan menciptakan alam disertai dengan hukum alam yang melekat padanya. Apabila manusia –karena keserakahannya-- melakukan pengrusakan maka alam akan menunjukkan permusuhannya kepada manusia. Agar alam tetap bermanfaat dan memberikan keteduhan bagi manusia maka yang harus dilakukan adalah :
1. Sosialisasi ajaran agama yang terkait dengan kebersamaan serta peningkatan dan pelestarian alam lebih intensif dan terprogram sehingga fokus dan mencapai tujuan.
2. Membuat proyek percontohan tentang pelaksanaan ajaran agama tersebut dalam sebuah desa, kota, hutan, dan lainnya yang memungkinkan untuk jadi model bagi pengembangan wilayah yang lain.
3. Membuat sistem kontrol yang humanis dengan disiplin tinggi, sehingga masyarakat berkenan untuk melakukan hubungan yang harmonis dengan sesama dengan nuansa pelestarian alam secara alami dan senang hati. Qur’an telah menyinggung tentang kecenderungan manusia untuk membuat kerusakan di bumi ( dhahara al-fasad fi al-barr wa al-bahr bima kasabat aidi al-nas) dan itu telah diprediksi oleh Malaikat saat penciptaan Adam (ataj’alu fiha man yufsidu fiha wa yasfiku al-dima’). Sistem kontrol sosial berbentuk peraturan perundang-undangan maupun tradisi yang berkembang di masyarakat sangat penting agar manusia disiplin dengan nilai dan ajaran agama.
IV. PENUTUP
Demikian secara singkat, bahan diskusi ini penulis sampaikan, semoga bermanfaat.
[**] Dr. H. Muhammad Roqib, M.Ag adalah Dosen Jurusan Tarbiyah, Direktur Program Pascasarjana STAIN Purwokerto, dan Pengasuh Pesantren Mahasiswa (Pesma) An Najah Purwokerto.
1] Makalah disampaikan acara Pembinaan KPSA (Kelompok Pelestari Sumberdaya Alam), Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Banyumas pada tanggal 21 September 2006.
[2] KH. Ali Yafie, Wacana Baru Fiqh Sosial (Mizan: 1997, 1997).
[3] KH. A. Sahal Mahfudz, Nuansa Fiqh Sosial (Yogyakarta: LkiS, 1998).
[4] Tim Redaksi Tanwirul Afkar, Fiqh Rakyat: Pertautan Fiqh dengan Kekuasaan (Yogyakarta: LkiS, 2000).
[5] Kuntowijoyo, Identitas Politik Umat Islam (Bandung: Mizan, 1997), hal. 155.
[6] ……Sekiranya Allah tidak menahan suatu golongan atas golongan yang lain, niscaya binasalah bumi ini. Tetapi Allah penuh karunia atas alam semesta. (QS. Al-Baqarah/ 2:251).
[7] Nurcholis Madjid, Cendikiawan dan Religiusitas Masyarakat (Jakarta: Paramadina, 1999), hal. 63.
[8] Di antara penjelasan tersebut baca, Abdurrahman Wachid dalam Buddy Munawar-Rahman, Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah (Jakarta: Paramadina, 1994), hal. 546-549.
Minggu, 16 Maret 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
2 komentar:
Ass.
Salam kenal pak Roqib. Blog bapak saya link ya ke ISPI Banyumas.
Makasih
Deni Kurniawan As'ari
Saya sepakat dengan pelestarian lingkungan, bukan sekedar teori tetapi realisasi. Untuk dapat ke sana, cara paling kuat adalah dengan mengkaitkan atau merubah pandangan teologis keagamaan, sehingga benar-benar dapat merubah wordveuw orang.http://khudorisoleh.blogspot.com/
Posting Komentar