PERNIKAHAN DINI
DAN PERNIKAHAN LAMBAT
Oleh. Muhammad Roqib
Berbicara tentang pernikahan dini berarti berbicara tentang waktu. Waktu memiliki arti yang penting bagi umat manusia karenanya waktu dijadikan alat sumpat oleh Allah Swt. Dalam surat al-Ashr (wal ashr, demi masa/ demi waktu).
Apakah waktu yang tepat itu kemaren, sekarang atau yang akan datang ? maka jawabannya harus didasari oleh situasi dan kondisi yang bagaimana yang melingkupi seseorang untuk memilih dan mengambil keputusan. Pertanyaan di atas terkait oleh keterangan waktu karenanya harus melihat kondisi.
Nikah ada syarat dan rukunnya apabila syarat dan rukun telah terpenuhi maka seseorang harus melihat beberapa kesiapan orang-orang yang terlibat dalam pernikahan tersebut walaupun mereka tidak menjadi syarat atau rukun syah pernikahan. Mereka tersebut adalah :
1. Kesiapan mempelai secara fisik, psikis, ekonomis, dan sosial-politis. Yang terakhir dipertimbangkan karena pernikahan pada dasarnya juga menikahkan atau mempertautkan antara dua tradisi pribadi, keluarga, dan masyarakat sekitarnya.
2. Kesiapan orang tua secara fisik, psikis, dan terkadang ekonomis dan untuk yang terakhir ini menjadi kurang relefan jika dilihat bahwa biaya pernikahan secara formal sangat ringan walaupun dalam sering dikaitkan dengan tradisi resepsi yang membutuhkan biaya tinggi.
3. Kondisi sosial-politis yang melingkupi kedua mempelai dan keluarganya.
Apabila kesiapan dan kondisi yang ada telah menunjukkan kepositivannya maka pertanyaan di atas menjadi terjawab dan tidak relevan lagi orang membicarakan tentang pernikahan itu dini atau lambat. Pemahaman seperti ini penting dilakukan agar setiap Muslim tidak lagi terjebak pada formalitas usia tetapi pada kesiapan yang total walaupun tidak harus sempurna, realitas ekonomi yang dititik beratkan pada kemampuan bekerja dan kualitas etos kerja calon mempelai.
Dua hal ini yang seringkali dikambing hitamkan. Secara rinci keterpakuan ini terpahat pada batas usia minimal-maksimal karenanya kita mengenal ada pernikahan terlalu dini atau pernikahan “perawan” kasep. Di sisi lain ada yang menggunakan patokan “calon harus memiliki ‘kepribadian’ dalam arti rumah pribadi, mobil pribadi”.
Pemahaman di atas berbahaya sama juga berbahaya tatkala orang mempermudah pernikahan menafikan pertimbangan kemampuan dan kesiapan, karena bila hal ini dilakukan maka pernikahan bisa menjadi bahan permainan, karena terjadi masalah kemudian cerai,
Jika terjadi perceraian, maka pihak perempuan yang paling banyak menanggung resiko dan dirugikan secara fisik, psikis, sosial, dan ekonomis walaupun kerugian ini pada masyarakat tertentu (dan itu sangat sedikit sekali) tidak terbukti.
Terakhir, pernikahan adalah bagian dari ajaran yang sacral dan harus dilaksanakan dengan totalitas pertimbangan termasuk pertimbangan “beribadah” kepada Allah Swt. Karenanya “OJO DIANGEL-ANGEL LAN OJO DIGEGAMPANG”. Bagi yang telah mampu dan siap saya sampaikan SELAMAT MENIKAH, SEMOGA SEJAHTERA, BAHAGIA DAN BERKAH.
Purwokerto, 1 Agustus 2002
Minggu, 09 Maret 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar