Khutbah Idul Adha 1424 H
BERKURBAN : UPAYA MEMBANGUN NILAI KEMANUSIAAN - KEHARMONISAN DAN KEBAHAGIAAN HIDUP *
Oleh. Drs. Muhammad Roqib, M.Ag **
Allahu akbar Allahu akbar Allahu akbar Walillahil hamd.
Jeritan dan tangisan saudara kita terdengar nyaring dan menyayat-nyayat, seakan-akan ingin membuka tirai tebal yang selama ini menutup hati kaum muslimin dan bangsa Indonesia. Jeritan saudara kita di berbagai daerah yang tertimpa bencana alam dan bencana sosial politik yang memilukan. Bencana tersebut menambah beban berat kaum Muslimin dan bangsa ini yang selama beberapa tahun terakhir dilanda krisis berkepanjangan. Krisis moneter, krisis ekonomi, krisis politik dan krisis moral yang merupakan pangkal awal penyebabnya. Kondisi seperti ini masih terasakan sampai pada hari raya kurban tahun 1424 H kali ini.
Terkait dengan moral dan nilai kemanusiaan dan hari raya Adha, surat Al-Kautsar (QS. 108: 1-3) memberikan pesan tentang 3 hal penting dalam hidup ini :
Artinya : 1) Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak, 2) maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu, dan berkorbanlah, 3) Sesungguhnya orang-orang yang membenci kamu dialah yang terputus (dari rahmat Allah).
Ayat di atas memberikan informasi pada kita , bahwa ada tiga kata kunci penting dalam hidup ini, yaitu nikmat yang banyak, shalat, dan berkorban. 1) Allah telah memberikan karunia dan nikmat yang teramat banyak, segala sisi dalam hidup ini penuh dengan nikmat. Jika ingin agar nikmat tersebut lestari maka lakukanlah 2) shalat, yaitu memperkuat hubungan vertikal agar nikmat tersebut memiliki nilai transenden dan hakiki, Selain itu juga lakukan 3) pengorbanan agar secara sosial nikmat tersebut mendapatkan pengakuan dan sumrambah pada yang lain. Mungkinkah orang mampu merasakan nikmat Tuhan jika ia hanya merasakannya sendiri? Tidak mungkin. Ia harus merasakan nikmat yang dikaruniakan kepadanya bersama dengan orang lain, karenanya berkorban merupakan keniscayaan agar nikmat itu dirasakan oleh orang lain dan memperoleh nilai hakikinya. Bukan nikmat semu tetapi nikmat yang menginternal dalam hidup kita selamanya.
Kurban merupakan kata kunci bagi terciptanya harmonitas masyarakat dan bangsa. Tanpa pengorbanan cita-cita luhur pembangunan hanyalah retorika belaka. Kepedihan yang menimpa sekian banyak umat Islam dan bangsa ini juga berawal dari tidak adanya pengorbanan yang sejati. Yang banyak saat ini adalah perbincangan, harapan, dan retorika politis tentang pengorbanan dan belum peksanaan korban dalam arti yang komprehensip yaitu berkorban ilahiyah-vertikal dan sosial-horisontal.
Pengorbanan sejati pasti didasari oleh 1) adanya niatan yang tulus karena Allah Swt. Dan bukan untuk ajang unjuk kekayaan dan prestise. Motivasi berkorban adalah untuk taqarrub, mendekatkan diri agar kita bisa lebih dekat dengan pencipta kita. 2) Berkorban juga harus didasari oleh pertimbangan akal-rasio dan ilmu yang memadai yaitu untuk kepentingan kemaslahatan, kemakmuran dan kedamaian masyarakat umum. Berkorban dengan menyembelih kambing, kerbau atau sapi adalah sebagian dari berkorban dalam arti yang luas. Berkorban juga dapat dilakukan dengan a) penyediaan fasilitas umum, b) penyediaan fasilitas pendidikan yang representatif untuk membangun SDM, c) pelestarian alam agar alam selalu bersahabat dengan kita tetap dan bertambah subur, indah, dan nyaman bagi kehidupan setiap makhluk. 3) Berkorban juga harus didasari oleh kesadaran akan pesan moral-etis yang terkandung di dalamnya sehingga ada upaya yang terus menerus untuk meningkatkan spiritualitas diri dan masyarakatnya.
Di antara pesan moral, ahlak yang dapat kita sebutkan adalah :
1. Berkorban berarti adanya kesediaan untuk memotong sebagian kekayaan kita yang berujud kambing, kerbau, sapi untuk kepentingan masyarakat yang lebih luas. Dalam hal ini berkorban juga kesediaan untuk memotong sebagaian kekayaan lain seperti ayam, padi, pakaian, tempat tinggal atau pekarangan dan uang untuk dimanfatkan oleh diri, keluarga dan masyarakat luas.
2. Berkorban berarti adanya kesediaan untuk memotong sebagaian tenaga yang kita miliki untuk kepentingan umum, untuk keluarga, untuk saudara-famili, tetangga, dan masyarakat serta bangsa. Orang yang telah terilhami makna kurban, ia akan senantiasa siap bergaul dengan baik dengan lingkungan sosial (juga fisik-material) di sela-sela kesibukannya.
3. Berkorban berarti adanya kesediaan untuk menyebarkan ilmu dan keterampilannya (dakwah dan ta’lim) untuk pemberdayaan masyarakat dengan mengajar anak-anak dan remaja serta mengajar setiap orang yang membutuhkan seperti mengajar tentang baca-tulis (al-Qur’an), ilmu-pengetahuan, pekerjaan (skill) dan kemasyarakatan. Berkorban dalam arti ini juga kesediaan untuk ikut berpartisipasi dalam mencari alternatif penyelesaian problem atau masalah keummatan dengan memeras otak dan fikiran untuk memperoleh hasil pemikiran yang benar-benar orisinil, maslahat, dan menyentuh kebutuhan umat.
4. Berkorban untuk berpartisipasi dalam proses kepemimpinan (imamah) dan memegang kepemimpinan dengan penuh tanggungungjawab (amanah). Seseorang berkenan menjadi pemimpin untuk kebaikan umat, jika dipilih dan ia berkenan pula untuk mundur tatkala diyakini kurang memberikan kemaslahatan bagi umat sekaligus ia mau memberi kesempatan pada generasi yang lebih potensial untuk menjadi pemimpin. Kesediaan untuk maju ke tampuk kepemimpinan, mundur dan memberi kesempatan orang lain maju karena tuntutan masyarakat yang sesuai dengan prosedur yang ditetapkan oleh UU adalah bagian dari berkorban. Sebagai rakyat, berkorban adalah menjadi warga bangsa yang baik, partisipatif, kreatif dan mampu melakukan kontrol yang bermoral untuk pemimpin dan lingkungan sosialnya. Rakyat yang siap menciptakan kepemimpinan yang adil, jujur dan bijaksana adalah bagian dari pengorbanannya.
5. Berprilaku positif dalam bergaul (mu’asyarah bi al-ma’ruf) dengan keluarga (anak-anak dan istri), orang tua, mertua, serta melakukan proses edukasi yang terus menerus bagi mereka juga bagian dari makna berkorban. Bertutur kata dengan bahasa yang sopan tatkala bergaul atau melakukan kritik konstruktif (bermoral) merupakan bagian dari berkorban. Berpakaian yang sopan, indah, serasi, dan menutup aurat merupakan bagian dari berkorban dalam arti yang lebih aplikatif.
Demikian antara lain artikulasi korban dalam kehidupan riil sehari-hari. Pemahaman akan arti korban seperti ini belum terealisasikan secara konsisten di masyarakat Muslim. Alhamdulillah kaum muslimin sudah mulai banyak yang sadar akan pentingnya berkurban dengan menyembelih hewan kurban tetapi yang perlu ditingkatkan adalah berkurban dalam arti luas yang menyentuh seluruh aspek lehidupan manusia seperti di atas.
Saat ini jamaah hajji kita sedang berada di tanah suci, mendekatkan diri pada Allah Swt. Meneladani prilaku nabi Ibrahim, Ibu Hajar, dan Ismail. Selain napak tilas [peribadatan nabi Ibrahim jamaah haji dan juga semua kaum Muslim mencontoh bagaimana menjadi Bapak yang bijak seperti Ibrahim, menjadi istri dan ibu yang penuh kasih sayang bagaikan Hajar, dan menjadi anak yang cerdas, sopan dan taat pada orang tua sebagaimana Ismail. Ketiganya merupakan model terbaik (dalam keluarga dan masyarakat) sesuai dengan perannya masing-masing dan ketiganya adalah makhluk terpuji yang rindu akan Tuhannya. Kita sebagai bangsa yang sedang mengenang Nabi Ibrahin, Ismail dan Ibu Hajar, di Indonesia juga dianjurkan untuk menjadi orang yang terbaik dan manfaat dengan mengemban amanat Ilahi sesuai dengan tugas dan peran kita masing-masing.
Bulan haji, sebagai mana dalam sejarahnya, menuntun kita untuk bekerja keras dengan tulus-ihlas dan selalu dekat kepada Allah Swt. Bulan ini kita disadarkan untuk selalu instropeksi diri, apakah kita selama ini sudah melakukan kerja positif–profesional (amal sholih), kerja keras, dan semangat tinggi ?. Mengapa hati kita belum terpatri oleh rasa rindu dan selalu mengaharap akan ridlo Allah Swt. Mengapa kita sering kurang jujur dan pemalas. Marilah kita rancang bangunan hidup kita ini agar selalu dalam garis Tuhan yang penuh semangat juang, berfikir cerdas, hati bersih, kerja keras, dekat dengan Allah Swt sekaligus dekat dengan makhluk-Nya, menjaga keharmonisan sosial dan keharmonisan dengan alam semesta. Menjaga alam agar Ia memberikan yang terbaik bagi kehidupan kita.
Ibadah hajji telah mendidik kita untuk menyatukan langkah dengan dasar ketauhidan, visi dan misi yang sama. Bersatu untuk mengemban tugas sebagai makhluk Allah di bumi. Bersatu sebagaimana saudara kita yang bersatu di baitullah dan di padang Arafah saat menunaikan haji. Hentikan perpecahan dan permusuhan, kita rapatkan kembali persatuan. Kita telah tahu akibat perpecahan dan permusuhan yang telah membawa kesengsaraan umat berabad-abad.
Ibadah haji telah mengantarkan pelaksananya untuk menerima sebutan Bapak dan Ibu haji. Sebutan tersebut merupakan fenomena sosiologis bagi bangsa kita sejak masa pra dan pasca kemerdekaan. Karena seorang Muslim telah haji ia menjadi contoh panutan sebagai manusia yang mengemban nilai kenabian (profetik) sekaligus membumikannya dalam kehidupan riil di mana Bapak dan Ibu haji hidup dan bergaul. Semoga pada bulan haji ini kita tersadarkan kembali untuk menuju kesempurnaan dhohir dan batin secara bersamaan.
Semoga kita dapat memperbaiki kehidupan ini agar menjadi lebih baik dan lebih memiliki nilai guna yang tinggi bagi lingkungan serta senantiasa mendapatkan ridlo Allah Swt. Amin ya Mujib al-sa’ilin.
Purwokerto, 1 Februari 2004
* Khutbah Idul Adha ini disampaikan di Alun-alun Purwokerto pada tanggal 1 Pebruari 2004 bertepatan dengan tanggal 10 Dzul Hijjah 1424 H.
** Drs. Muhammad Roqib, M.Ag Pembantu Ketua I STAIN Purwokerto. Ia saat ini sedang menyelesaikan studi program doktor (S-3) di IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Minggu, 09 Maret 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar