Minggu, 09 Maret 2008

Kontemplasi: Babat Alas di Lereng Gunung Slamet

BABAT ALAS MERETAS GENERASI MASA DEPAN
DI LERENG GUNUNG SLAMET
Oleh. Muhammad Roqib


Aku termenung beberapa saat tatkala melihat carut-marut “padepokanku” yang selama lima tahun-an kutinggalkan untuk ngangsu kaweruh di Mataram yang awalnya Alas Mentaok. Benar, di lereng gunung Slamet tetap berdiri padepokan “ Karang Widya Wiwaha” yang semrawut hampir di segala sudut-sudutnya. Aku terpanggil untuk menyentuhnya dengan bekal ilmu yang telah aku peroleh dengan susah payah dari Mataram.
Kedisiplinan yang Melorot Tajam
Ada beberapa pertanyaan mendasar mengapa padepokan yang dihuni oleh tigaribuan cantrik ini tidak memiliki kedisiplinan dalam kerja yang aturannya ia buat sendiri padahal dengan kedisiplinan pekerjaan menjadi lebih ringan dan mudah dievaluasi. Setiap cantrik diberi kebebasan untuk mengambil program “jurus-jurus” sesuai dengan karakter bela diri yang mereka pilih. Perlu ada ketepatan waktu, kejelasan jurus yang dipilih, dan pelatih yang dikehendaki sesuai dengan petunjuk panduan yang dibuat bersama oleh pendiri dan pengelola padepokan. Tetapi kelemahan cantrik yang tidak disiplin ini dipengaruhi oleh kekurang disiplinan pelatih lapangan dan pemegang kendali administrasi padepokan yang diserahi oleh Sang Resi. Berarti ada ketersalingan dalam ketidak disiplinan.
Dalam pikiranku jika tanganku ini boleh mengaturnya maka pertama-tama yang akan kulakukan adalah melakukan penyadaran bersama bahwa tradisi disiplin ini membahayakan padepokan, kemudian memberikan penyelesaian dengan beberapa alternatif di antaranya mencari akar masalah, membuat program penyelesaian dan prioritas program, kemudian menentukan orang yang memiliki kompetensi di bidang yang menyangkut masalah tersebut, penentuan job dan time schedule aksinya. Yang tak kalah penting adalah memanfaatkan media pendidikan dan pelatihan tercerahkan agar para cantrik mampu melakukan jurus-jurus secara cepat-tepat-akurat dan mampu bersaing dengan “perguruan” di padepokan-padepokan lain seantoro dunyo.
Peningkatan Tri-pusat Olah Keprigelan
Yang aku maksud dengan tri-pusat adalah pertama pusat padepokan itu sendiri, kedua pusat pelatihan mikro di padepokan, dan ketiga pusat pelatihan makro ing ngare termasuk bopo-ibunya dalam keluarga. Ketiganya harus saling menujang dan mendukung. Sedang yang aku maksud dengan keprigelan adalah pertama keprigelan dalam olah cipta fikir-strategis sehingga cantrik mampu mengembangkan kecerdasan tak terbatas oleh waktu, tempat dan kasus yang dihadapi. Kedua keprigelan dalam rasa yang memiliki sentuhan rasa berkualitas tinggi dan mampu mengolah setiap “tanda-tanda jaman” menjadi satu bulatan total kebijakan diri yang damai dengan komunikasi vertikal yang kuat sehingga cantrik mampu “ngerti sak durunge winarah” dan merespon “pituduh” tersebut dengan tenang-berwibawa tetapi cepat, tepat dan pinercoyo. Ketiga keprigelan dalam karsa yang tinggi-berperadaban sehingga ia selalu ingin melakukan yang terbaik bagi diri dan wong alam kabeh. Untuk memenuhi keprigelan terakhir cantrik harus dilatih bagaimana prilakunya terampil seterampil daya cipta, rasa-spiritual, dan motivnya untuk mengembangkan jalan-jalan kemanusiaan.
Memperluas Jaring-jaring Kehidupan yang Kuat
Cantrik masa depan adalah cantrik yang mampu merespon jaman. Jaman dikembangkan oleh manusia di mana cantrik ada di dalamnya. Begitu juga “padepokan” ini yang tidak mungkin bisa jaya jika hanya berkutat pada “pribadine dewek-dewek”. Sebagai padepokan, ketangguhan dan nama besarnya ditentukan oleh uji abituren cantriknya yang telah “mudun ing ngare”. Dunia ngare banyak tantangan dan variatif untuk itu sejak awal harus dibuat jaringan yang kuat dengan “padepokan” lain. Jaringan yang kuat dengan tokoh-tokoh pengambil kebijakan, tenaga ahli, dan kutup-kutup usaha produktif di mana cantrik bisa meneruskan jurus-jurusnya agar matang dan berkembang. Karena keterbatasan tenaga, pikiran, dan waktu yang aku miliki maka aku harus kembali pada kebijakan di depan dan melengkapinya dengan tim-tim ahli yang memiliki jurus beragam sekaligus meningkatkan kualitasnya sehingga kekuatan “padepokan” ini menjadi rasional-konseptual-faktual berbingkai kecerdasan spiritual.
Tiba-tiba aku terperangah dalam lamunanku yang panjang. Lereng Gunung Slamet memang sering hujan berarti butuh payung. Wilayah ini memang dingin berarti aku butuh selimut. Tetapi hujan dan dingin adalah rahmat, siapa tahu Ingkang Murbeng Dumadi memberkahi dan tangan ini tidak loyo, dan lesanku juga tidak kelu tatkala dituntut harus bergerak dan berteriak menggugah nilai kemanusiaan yang tertunda dalam padepokanku.
Nglilir….!!!. Dan benar….! Bergerak bersama…!!!

Bersambung…
.
Purwokerto, Jumat 22 Maret 2002

Tidak ada komentar: