Minggu, 09 Maret 2008

Khutbah: Nilai Sosial Pak Kaji

Khutbah Jum’at

NILAI SOSIAL PAK KAJI
Oleh. Muhammad Roqib


Jama’ah tergugah dari kantuknya. Padahal seperti biasa jamaah Jum’ah di masjid itu selalu diwarnai kepala tertunduk bukan karena khusuk tetapi karena ngantuk. Saat itu memang luar biasa. Khatib yang satu ini begitu kuat daya sentuhnya di hati para jamaah. Dengan nada tegas dan lembut suara yang mengalir dari lesan khatib seakan obat anti tidur, begitu nikmat dan damai. Sebuah ucapan yang diracik fasih dan baligh.
Khatib, ini adalah pak Kaji. Demikian orang kampung selalu menyebutnya. Sebagian masyarakat lupa sebenarnya siapa nama lengkap pak Kaji. Haji Abdul Manaf. Mengapa rakyat banyak memandang ucapan pak Kaji sebagai ucapan yang fasih dan baligh, toto, titis, tetes demikian kata orang jawa ?.
Rahasia yang tersembunyi dari kepribadian luhur pak Kaji adalah adanya kesatuan kata, hati, pikiran, dan prilaku dalam diri pak Kaji. Ia berucap dengan sepenuh jiwa. Ia hadirkan kata-kata yang terpilih dan utama untuk setiap teman bicaranya. Ia menghindari kata-kata mubah. Kata-kata yang sia-sia dan merusak kesehatan telinga. Ia membersihkan lesannya agar tidak menjadi “tong sampah” seperti kata presiden Megawati tatkala menyebut Indonesia negara yang ia pimpin sendiri. Kata-kata pak Kaji tertata rapi, indah, dan menawan siapa pun yag mendengarya. Kata-kata yang tidak menimbulkan jarak antara dia dan pendengar. Kata-kata yang bagaikan magnit menarik setiap orang yang paham akan arti qaulan-kariman, mengerti akan makna qaulan balighan. Setiap orang tertarik pada ucapan pak Kaji yang meneduhkan jiwa, bagaikan obat kesehatan ruhani yang memang telah sekian lama dirindukan orang.
Rahasianya lagi, Pak Kaji orang dermawan dan sensitif sosial. Ahlak adi luhung telah melekat kuat pada dirinya juga pada diri sebagian para kaji setelah ia dicetak sebagai manusia baru di Makkah al-Mukarramah, tanah suci. Ke-Mahamurah-an Allah telah meresap pada dirinya, menjadikan pak Kaji menjadi pemurah dalam urusan derma pada warganya, kepada yang fakir dan miskin papa. Ia melawan kebodohan, menyelamatkan orang-orang yang keleleran tidak penuya rumah di pinggir-pinggir terminal, pinggir kali, pinggir stasiun dan belakang kantor-kantor. Pak Kaji pioner kedermawanan. Pak Kaji telah mampu memanggul tugas-tugas sosial di balik kekhusu’annya beribadah. Inilah letak titik kuat dan kata kunci kenapa ucapan pak Kaji menjadi toto, tetes, titis, bermakna luar biasa bagi orang yang mendengarnya.
Pak Kaji telah mampu membuat pesan “langitan”, pesan Tuhan, contoh Rasul menjadi membumi, riil, nyata. Beliau telah sadar siapa dirinya, sadar bahwa setiap saat ia dipantau Allah Ingkang Moho Kuaos. Kehadiran Allah membuatnya menempuh jalan benar, berhati benar, berfikir benar, terbuka, tulus dan ihlas. Ia selalu mendamaikan khouf, rasa khawatir dan raja’ harap-harap cemas. Ia sungguh-sungguh dan tidak main-main dalam beribadah.
Memang ada sebagian jamaah haji yang bermain-main dengan ibadah. Mereka pergi haji semata karena kelebihan uang dan kalau perlu menambahnya agar lebih banyak lagi. Barangkali ia ingin piknik, tamasya, ngelencer sebagai wisatawan dan pedagang, dan bukan berhaji.
Ada sebagaian yang haji karena beban-beban pikiran yang menumpuk dan mengalihkan perhatian masyarakat karena tersangkut kasus hukum dan politik yang serius, silahkan saja, tidak ada larangan kok termasuk dari jaksa. Tetapi ingat, apabila bermain-main dengan ibadah Allah Maha Tahu walupun kejaksaan Agung dan Kepolisian takut atau KPP HAM, aktifis Mahasiswa belum mengetahuinya. Allah tidak pernah tidur, Allahu la ilah illa huwal hayyul qayyum la ta’khudzuhus sinatau wala naum.
Pergi haji berarti mendidik diri dengan pakaian putih, pakaian ihram yang merupakan simbol kebersihan, kejernihan, dan keterbukaan serta terbukanya jarak dan batas antar sesama sehingga kepedulian sosial tatkala pulang haji menjadi lebih tinggi karena ia berhaji dengan ihlas, tulus dan bukan main-main. Wa atimmul hajja wal umrata lillah.
Alhamdulillah, tokoh kita, pak Kaji telah mencerminkan kesemuanya yang ihlas dan mabrur itu. Pak Kaji telah membuang berbuat main-main dengan Allah, karenanya pak Kaji menjadi kajen, terhormat, dan menduduki status sosial yang lebih tinggi.
Pak Kaji yang kajen sebagaimana dulu pak-Kaji-pak Kaji sebelum tahun 70-an. Ia sensitif sosial, bukan kaji yang bakhil, kurang “gaul” dan bukan pula pak Kaji yang suka mbethuthut, sombong. Pak Kaji bukan pak Kaji sing ora kajen, dimurkai tetapi ia menjadi pak Kaji sing kajen, disenangi.
Semoga Allah Swt. Memberikan taufik, hidayah, dan inyah-Nya pada kita semua sehingga kita terutama yang belum haji diberi kesempatan haji dan kita semua mampu menjadi pak Kaji yang kajen mendapat ridla Allah Swt. Amiin.


Purwokerto, 1 Maret 2002

Tidak ada komentar: